Beranda | Artikel
Kisah Pemegang Rahasia Rasulullah, Ibnu Masud radhiyallahu anhu
Sabtu, 1 April 2023

الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله

Ini adalah kisah salah satu mutiara umat ini, salah satu pahlawan Islam, dan salah satu sahabat yang termasuk As-Sabiqun Al-Awwalun. Beliau mengikuti perang Badar dan banyak peristiwa penting lainnya dalam sejarah awal Islam. Beliau senantiasa menemani Nabi ke mana pun Nabi pergi. Dari menyiapkan sandal, air wudu, siwak, hingga alas duduk Nabi, beliau kerjakan. Beliau termasuk salah satu dari empat Abdullah yang masyhur, selain Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair dan Abdullah bin Abbas. Beliau adalah Abdullah bin Mas’ud.

[lwptoc]

Nasab dan kunyah

Nama lengkapnya adalah Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud bin Ghafil Al-Makki Al-Muhajir Al-Hudzaliy. Beliau juga sering dinasabkan kepada ibunya. Karena ibunya dipanggil Ummu Abdin, Ibnu Mas’ud pun dipanggil dengan sebutan Ibnu Ummu Abdin.

Ibnu Mas’ud masuk Islam

Ibnu Mas’ud datang dari Hudzail ke Makkah setelah wafatnya sang ayah yang meninggal saat perjalanan mencari nafkah. Di Makkah, Ibnu Mas’ud kecil bekerja menggembalakan kambing milik seorang tokoh Quraisy bernama ‘Uqbah bin Abi Mu’ith. Suatu hari ketika tengah bekerja, datanglah dua orang laki-laki kepada Ibnu Mas’ud yang ternyata itu adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Bakr. Ibnu Sa’ad menukil kisah pertemuan mereka di dalam Kitab Thabaqat miliknya. Dari Ibnu Mas’ud ia berkata,

كُنْتُ غُلَامًا يَافِعًا أُرَعِى غَنَمًا لِعُقْبَةَ بْنَ أَبِيْ مُعِيْطٍ فَجَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَأَبُوْ بَكْرٍ وَقَدْ فَرَّا مِنْ المُشْرِكِيْنَ فَقَالَا يَا غُلَامٌ هَلْ عِنْدَكَ مِنْ لَبَنٍ تُسْقِيْنَا ؟ فَقُلْتُ إِنِّيْ مُؤْتَمِنٌ وَلَسْتُ سَاقِيْكُمَا. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ هَلْ عِنْدَكَ مِنْ جَذْعَةٍ لَمْ يَنْزِ عَلَيْهَا الفَحْلُ ؟ قُلْتُ نَعَمْ فَأَتَيْتُهُمَا بِهَا فَاعْتَقَلَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَمَسَحَ الضَرْعَ وَدَعَا فَحَفَلَ الضَرْعَ ثُمَّ أَتَاهُ أَبُوْ بَكْرٍ بِصُخْرَةٍ مُتَقَعَرَّةٍ فَاحْتَلَبَ فِيْهَا فَشَرِبَ أَبُوْ بَكْرٍ ثُمَّ شَرِبْتُ ثُمَّ قَالَ لِلضَّرْعِ اقْلِصْ فَقَلَصَ قَالَ فَأَتَيْتُهُ بَعْدَ ذَلِكَ فَقُلْتُ عَلِّمْنِيْ مِنْ هَذَا القَوْلِ. قَالَ إِنَّكَ غُلَامٌ مُعَلَّمٌ. فَأَخَذْتُ مِنْ فَيْهِ سَبْعِيْنَ سُوْرَة لَا يُنَازِعَنِيْ فِيْهَا أَحَدٌ

“Dulu ketika aku masih anak muda belia, saat bekerja menggembalakan kambing milik Uqbah bin Abi Mu’ith, tiba-tiba Nabi dan Abu Bakr datang. Mereka berlari dari kejaran orang-orang musyrik.

Maka, salah satu dari mereka berkata, ‘Wahai anak kecil, apakah engkau memiliki susu yang dapat kami minum?’ Ibnu Mas’ud menjawab, ‘Aku hanyalah orang yang dipercaya menggembalakan kambing ini, sehingga aku tidak bisa memenuhi permintaan kalian.’

Lantas Nabi bertanya, ‘Apakah engkau punya seekor anak kambing betina yang belum dikawini pejantan?’ Maka, aku menjawab, ‘Iya.’

Aku pun membawakan apa yang ia minta. Nabi kemudian mengambil anak kambing betina itu dan mengusap kambingnya sambil berdoa. Maka, terkumpullah air susu dari ambing anak kambing betina tersebut.

Abu Bakr kemudian membawa sebuah batu yang memiliki cekungan dan mulai memerah susu ke dalamnya. Abu Bakr pun meminum susu itu dan disusul diriku. Nabi berkata ke arah ambing anak kambing itu, ‘Menyusutlah.’ Maka, dengan seketika ambingnya pun menjadi kempes. Setelah kejadian itu, (di hari yang lain) aku mendatangi Nabi  dan berkata, ‘Ajari aku perkataan yang engkau ucapkan waktu itu.’ Nabi bersabda, ‘Engkau anak muda yang cerdas.’ Aku pun menghafalkan 70 surat Al-Qur’an langsung dari beliau dan tidak ada yang mengalahkanku.”

Sejak saat itu, Ibnu Mas’ud pun menyandang gelar sebagai seorang muslim. Beliau terhitung sebagai sahabat keenam yang masuk ke dalam agama Islam.

Sifat fisik Ibnu Mas’ud

Qais bin Abi Hazim berkata, “Aku melihat Ibnu Mas’ud memiliki tubuh yang kurus.” Ubaydillah bin Abdullah bin ‘Utbah berkata, “Abdullah bin Mas’ud itu laki-laki yang kurus, pendek, dan berkulit hitam, dan beliau tidak menyemir ubannya.” Dari A’masy dari Ibrahim, ia berkata, “Abdullah adalah pribadi yang lembut lagi cerdas.” (Siyar A’lam Nubala)

Al-Mas’udi meriwayatkan dari Sulaiman bin Maina, dari Nuwaifi’ pelayan Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Abdullah bin Mas’ud adalah manusia yang paling baik penampilannya dan paling harum baunya.” (Siyar A’lam Nubala)

Diriwayatkan dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ابْنَ مَسْعُودٍ فَصَعِدَ عَلَى شَجَرَةٍ مَرَهُ أَنْ يَأْتِيَهُ مِنْهَا بِشَيْءٍ، فَنَظَرَ أَصْحَابُهُ إِلَى سَاقِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ حِينَ صَعِدَ الشَّجَرَةَ، فَضَحِكُوا مِنْ حُمُوشَةِ سَاقَيْهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” مَا تَضْحَكُونَ؟ لَرِجْلُ عَبْدِ اللهِ أَثْقَلُ فِي الْمِيزَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أُحُدٍ

Nabi memerintahkan Ibnu Mas’ud (untuk suatu perkara, -pen.), maka ia pun memanjat sebuah pohon yang Nabi suruh untuk membawakan sesuatu dari pohon tersebut untuknya.  Maka, para sahabat yang lain melihat betis Abdulullah bin Mas’ud tatkala memanjat pohon tersebut. Mereka pun tertawa melihat betisnya yang kecil. Rasulullah menanggapi, ‘Apa yang kalian tertawakan? Sungguh kaki Abdullah lebih berat dibandingkan gunung Uhud di timbangan hari kiamat kelak.’” [1] (HR. Ahmad no. 876, sanadnya dinilai hasan oleh Syekh Syu’aib Al-Arnauth)

Baca Juga: Biografi Syekh Abdul Qodir Jaelani

Kedekatannya dengan Rasulullah

Dari Ubaidillah bin Abdullah bin ‘Utbah berkata, “Ibnu Mas’ud adalah shahibu sirr (pemegang rahasia) Rasulullah, termasuk menyediakan tempat duduk, siwak, sandal, dan air untuk Nabi. Dan ini berlangsung saat Nabi sedang bersafar.”

Ibnu Sa’ad berkata, Abu Nu’aim menceritakan, Al-Mas’udi menceritakan kepada kami, dari Al-Qasim bin Abdurrahman, ia berkata, “Abdullah memakaikan sandal Nabi, kemudian Nabi berjalan di depannya dengan tongkat, hingga jika beliau tiba di majelisnya, Abdullah melepas sandal beliau dan memasukkan keduanya ke lengan bajunya, dan membawakan tongkat Nabi. Nabi biasa masuk dengan tongkat tersebut ke rumahnya dengan Ibnu Mas’ud di belakang beliau.”

Al-Mas’udi berkata, dari Iyas Al-Amiri, dari Abdullah bin Syadad berkata, “Dulu Abdullah adalah pembawa alas duduk, siwak, dan sandal Nabi.”

Al-Bukhari dan Muslim menukilkan sebuah hadis dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

قَدِمْتُ أَنَا وَأَخِي مِنْ الْيَمَنِ فَمَكَثْنَا حِينًا مَا نُرَى ابْنَ مَسْعُودٍ وَأُمَّهُ إِلَّا مِنْ أَهْلِ الْبَيْتِ مِنْ كَثْرَةِ دُخُولِهِمْ وَلُزُومِهِمْ لَهُ

Aku dan saudaraku tiba (di Madinah, -pen.) dari Yaman dan tinggal hingga beberapa saat. (Awalnya, -pen.) Kami mengira Ibnu Mas’ud dan ibunya termasuk keluarga Nabi karena mereka banyak keluar masuk ke dalam rumah Nabi dan sering menemani beliau.” [2] (HR. Bukhari no. 3763. Muslim no. 2460)

Al-Bukhari menukilkan di dalam Shahih-nya sebuah hadis dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda padaku,

إِذْنُكَ عَلَيَّ أَنْ يُرْفَعَ الْحِجَابُ، وَأَنْ تَسْتَمِعَ سِوَادِي حَتَّى أَنْهَاكَ

Tanda izinmu (untuk masuk) adalah tirai yang terangkat dan engkau boleh mendengar perkara rahasiaku, kecuali aku larang.” [3] (HR. Bukhari nomor  2169)

Imam Al-Bukhari menukilkan di dalam kitab Shahih-nya sebuah hadis dari Abdurrahman bin Yazid radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami menanyai Hudzaifah tentang orang  yang mirip cara berjalannya dengan Nabi agar kami bisa menirunya. Maka, Hudzaifah menjawab, ‘Aku tidaklah mengenal seseorang yang paling mirip cara berjalan serta ketenangannya dengan Nabi, kecuali Ibnu Ummi Abdin.’” [4] (HR. Bukhari no. 3762)

Bahkan, ketika suatu saat ia diberitahu Nabi bahwa doanya akan dikabulkan jika ia berdoa, atas kecintaannya kepada beliau, maka di antara hal yang dimintanya adalah membersamai Nabi di surga kelak. Kisah tersebut dinukilkan Imam Ahmad di dalam Musnad-nya, di mana ketika Abdullah bin Mas’ud berada di dalam masjid dan berdoa kepada Rabbnya, Nabi datang dan berkata, “Mintalah, maka Allah akan penuhi. Maka Ibnu Mas’ud pun mengucapkan,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ إِيمَانًا لَا يَرْتَدُّ، وَنَعِيمًا لَا يَنْفَدُ، وَمُرَافَقَةَ النَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – فِي أَعْلَى غُرَفِ الْجَنَّةِ، جَنَّةِ الْخُلْدِ

Ya Allah, aku memohon kepada keimanan yang tidak menyebabkan aku murtad, nikmat yang tidak terputus, dan menemani Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di surga yang yang paling tinggi, surga nan abadi.’” [5] (HR. Imam Ahmad, 6: 346, no. 3797)

Persaudaraannya dengan Zubair bin Awwam

Abu Daud di dalam Sunan-nya berkata, Abu Salmah menyampaikan kepada kami, Hammad bin Salah menceritakan kepada kami, dari Tsabit, dari Anas, bahwa Nabi mempersaudarakan antara Az-Zubair dan Ibnu Mas’ud.

Ilmu Ibnu Mas’ud

Abdullah bin Mas’ud dikenal sebagai salah satu di antara sahabat yang paling tinggi ilmunya dan paling sering memberikan fatwa setelah wafatnya Nabi. Adz-Dzahabi memuji beliau dengan mengatakan, “Ibnu Mas’ud termasuk di antara deretan ulama yang paling cerdas.”

Umar bahkan pernah menggelarinya sebagai bejana yang dipenuhi dengan ilmu. Ini karena pada waktu itu Ibnu Mas’ud masih tergolong muda, sementara ia adalah salah satu di antara sahabat yang paling berilmu.

Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari hadis Abul Ahwas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku menyaksikan Abu Musa dan Abul Mas’ud ketika wafatnya Ibnu Mas’ud dan salah satu di antara mereka berkata kepada sahabatnya, ‘Apakah engkau melihat Ibnu Mas’ud meninggalkan seseorang setelahnya yang setara dengannya (dalam hal ilmu)?’ Maka, sahabat yang lain menimpali, ‘Jika engkau berkata demikian, benar adanya. Dulu ia diberi izin oleh Rasulullah ketika kita tidak diberi izin, dan ia hadir bersama Rasulullah ketika kita tidak hadir.’” [6] (HR. Muslim 2461)

Beliau termasuk fuqaha (ahli fikih) dan qori (ahli baca Al-Qur’an) dari golongan sahabat. Abdullan bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu ‘anhu dari Nabi bahwa beliau bersabda, “Ambillah ilmu Al-Qur’an dari empat manusia: Ibnu Ummi Abdin, Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, dan Salim Maula Abu Hudzaifah.” [7] (HR. Bukhari no. 3760 dan Muslim no 2464. Lafaz ini adalah milik Muslim)

Baca Juga: Biografi Aisyah radhiyallahu ‘anha

Murid-murid Ibnu Mas’ud

Ketika dikirim oleh Umar ke Kufah, Ibnu Mas’ud dan murid-muridnya mendirikan madrasah Irak. Maka, penduduk Kufah dapat mengambil ilmu dari beliau lebih banyak dibanding yang lain. Di antara karakteristik madrasah ini adalah banyaknya cara ber-istidlal di dalamnya, dengan dasar bahwa penduduk Irak dikenal sebagai ahlu ra’yu. Dan Ibnu Mas’udlah yang meletakkan batu pondasi bagi metode ini. [8] (Tafsir Ats-Tsa’labiy Al-Jawaahir Al-Hasan fi Tafsir Al-Qur’an, hal. 76)

Di antara murid-murid ibnu Mas’ud adalah: [9] (Arsyif Multaqo Ahli Tafsir: https://al-maktaba.org/book/31871/2206#p23)

  1. Alqamah bin Qiyas
  2. Masruq
  3. ‘Amir bim syarahil Asy-Sya’bii
  4. Al-Hasan Al-Bashri
  5. Qotadah bin Da’amah Ash-Saduusi
  6. Imran bin Husoin
  7. Thowus
  8. Ikrimah
  9. ‘Atho bin rabah
  10. Makhul
  11. Ibnu Sirin
  12. Az-Zuhari
  13. Ubaidah
  14. Abu Waailah
  15. Qais bin Abi Hazim
  16. Zir bin Hubaisy
  17. Ar-Rabi bin Khutsaim
  18. Thariq bin Syihab
  19. Dua anak beliau: Abu Ubaidah dan Abdurrahman
  20. Abul Ahwas Auf Bin Malik
  21. Abu ‘Amr Asy-Syaibani

Adapun sahabat yang mengambil hadis dari beliau adalah Abu Musa Al-Asy’ari, Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Umar, Imran bin Husoin, Jabir, Anas, Abu Umamah, dan yang lainnya.

Keberanian Ibnu Mas’ud

Sejak belia, keberanian Ibnu Ma’ud telah teruji di antara para sahabat. Di antaranya, Ibnu Ma’ud adalah orang yang pertama memperdengarkan bacaan Al-Qur’an di tengah-tengah orang Quraisy secara terang-terangan.

Ibnu Ishaq berkata, telah menyampaikan kepadaku Yahya bin Urwah bin Az-Zubair, dari ayahnya berkata,

“Yang pertama kali terang-terangan membaca Al-Qur’an (setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) di Makkah adalah Abdullah bin Mas’ud. Pada suatu hari para sahabat Rasulullah sedang berkumpul, lalu mereka berkata, “Demi Allah, kaum Quraisy sama sekali belum pernah mendengar Al-Qur’an dibacakan terang-terangan, maka siapakah yang bisa membuat mereka mendengarnya?”

Maka, Abdullah bin Mas’ud berkata, “Aku.”  Mereka berkata, “Kami khawatir mereka akan menyakitimu. Yang kami inginkan adalah seorang yang memiliki kaum yang kuat sehingga bisa menolongnya dari kaum Quraisy jika mereka hendak berbuat keburukan.” Ibnu Mas’ud berkata, “Biarkanlah aku, sesungguhnya Allah akan memberikan perlindungan padaku.” Maka, Ibnu Mas’ud pun berangkat hingga ia tiba di Maqam Ibrahim di waktu Duha. Adapun kaum Quraisy tengah berada di tempat berkumpul mereka. Ibnu Mas’ud kemudian berdiri di samping Maqam Ibrahim lalu membaca firman Allah (sambil mengeraskan suaranya),

Bismillahirrahmaanirrahiim, Arrahmaan, ‘Allamal Qur’aan…” Ibnu Mas’ud menghadap ke tempat mereka berkumpul dan membacakan ayat-ayat tersebut. Mereka pun memperhatikan Ibnu Mas’ud lantas berkata, “Apa yang sedang dibaca oleh Ibnu Ummi Abdin?” Salah satu di antara mereka berkata, “Dia membaca sebagian yang dibawa oleh Muhammad.” Maka, mereka pun bangkit dan berjalan menuju arah Ibnu Mas’ud dan memukuli wajah beliau. Akan tetapi, Ibnu Masud terus membaca. Lalu ia kembali ke tempat para sahabat, dan terlihat bekas pukulan di wajahnya. Para sahabat pun berkata, “Inilah yang kami takutkan akan terjadi padamu.” Ibnu Mas’ud menjawab, “Musuh-musuh Allah itu tidaklah jauh lebih ringan bagiku saat ini (dibanding sebelumnya, -pent.). Jika kalian membolehkan, besok aku akan ulangi lagi apa yang aku lakukakan hari ini. Para sahabat pun berkata, “Cukup. Engkau telah membuat mereka mendengarkan apa yang mereka tidak suka.” [10] (Shirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, 1: 315)

Yahya Al-Hamani berkata, Yahya bin Salmah bin Kuhail menceritakan kepada kami, dari bapaknya, dari Ikrimah, bahwa Ibnu Abbas berkata, “Tidaklah tersisa bersama Rasulullah pada perang Uhud, kecuali 4 orang, dan salah satunya Ibnu Mas’ud.”

Hikmah Ibnu Mas’ud

Berikut beberapa kata mutiara dan faedah ilmiah Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

ﻣﺎ ﻧﺪﻣﺖ ﻋﻠﻰ ﺷﻲﺀ ﻧﺪﻣﻲ ﻋﻠﻰ ﻳﻮﻡ ﻏﺮﺑﺖ ﴰﺴﻪ ﻧﻘﺺ ﻓﻴﻪ ﺃﺟﻠﻲ ﻭﱂ ﻳﺰﺩ ﻓﻴﻪ ﻋﻤﻠﻲ.

Tidaklah aku menyesali sesuatu seperti halnya penyesalanku terhadap suatu hari yang mataharinya telah tenggelam, di mana ajalku semakin berkurang, namun amalanku tidak bertambah.” [11] (Miftahul Afkar)

إنكم في ممر الليل والنهار، في آجال منقوصة، وأعمال محفوظة، والموت يأتي بغتة، من زرع خيراً يوشك أن يحصد رغبة، ومن زرع شراً يوشك أن يحصد ندامة، ولكل زارع مِثلُ ما زرع، لا يَسبقُ بطيء بحظه، ولا يُدرِكُ حريص ما لم يُقدَّر له، فمن أُعطي خيراً، فالله أعطاه، ومن وُقي شراً، فالله وقاه، المُتَّقُون سادة، والفقهاء قادة، ومجالستهم زيادة”

Sungguh kalian dalam perjalanan melewati malam dan siang. Ajal terus berkurang, dan amalan-amalan tercatat. Adapun kematian datang secara tiba-tiba. Barang siapa yang menanam kebaikan, maka niscaya ia akan memanen kebahagiaan. Dan barang siapa yang menanam keburukan, akan merengkuh penyesalan. Setiap orang akan memanen yang apa yang ia tanam. Orang yang lambat dan malas tidak akan bersegera meraih bagiannya, sementara orang yang tamak tidak akan mendapatkan apa yang tidak ditakdirkan baginya. Barang siapa yang diberikan kebaikan, maka Allahlah yang memberinya. Barang siapa yang dijaga dari keburukan, maka Allah jualah yang menjaganya. Orang-orang yang bertakwa itu tinggi derajatnya, ahli fikih membimbing umat, dan menghadiri majelis mereka adalah suatu keutamaan.” [12] (Siyar A’lam Nubala, 1: 496-497)

إني لأكره أن أرى الرجل فارغاً، ليس في عمل آخرة ولا دنيا

Sungguh Aku benci melihat laki-laki yang menganggur. Dia tidak mengerjakan amalan akhirat, tidak juga pekerjaan dunia.” [13] (An-Nihayah fi Gharibil hadits wal Atsar, karya Ibnul Atsir Al-Jazari)

«لَيْسَ الْعِلْمُ لِلْمَرْءِ بِكَثْرَةِ الرِّوَايَةِ وَلَكِنَّ الْعِلْمَ الْخَشْيَةُ»

Ilmu itu bukanlah dengan banyaknya riwayat (hafalan). Namun, ilmu itu adalah rasa takut kepada Allah Ta’ala.” [14] (Ibtaal Al-Hiyal karya Ibnu Battha, hal. 34)

إنّي لا حسب الرّجل ينسى العلم كان يعلمه بالخطيئة يعملها

Sungguh aku mengira, tidaklah seseorang lupa terhadap suatu ilmu yang dulu ia ketahui, kecuali karena dosa yang telah ia kerjakan.” [ 15] (Al-Ilmi karya Zuhair bin Harb, hal. 31)

والله الّذي لا إله إلّا هو ما على وجه الأرض شيء أحوج إلى طول سجن من لسان

Demi Allah yang tidak ada ilah yang berhak disembah, selain-Nya, tidak ada sesuatu pun di atas permukaan bumi ini yang butuh waktu paling panjang untuk dipenjara, selain lisan.” [16] (Mausu’ah Ibnu Abi Dunya, 38: 7 dan At-Tabarani, no. 8744)

لا تشرك به شيئا وزل مع القرأن حيث زال , ومن جاءك بالحقّ فاقبل منه وإن كان بعيدا بغيضا , ومن جاءك بالباطل فاردده عليه وإن كان حبـيـباقريـبا

Janganlah kalian mempersekutukkan Allah dengan sesuatu pun. Berlalulah bersama Al-Qur’an di mana pun ia berlalu. Siapa pun yang datang membawa kebenaran kepadamu, terimalah meskipun ia orang yang jauh ataupun orang yang dibenci. Dan siapa pun yang datang kepadamu membawa kebatilan, maka tolaklah, meskipun ia orang yang dicinta ataupun orang yang dekat.” [17] (Sifatus Shafwah, hal. 158)

الحقّ ثقيل مريء والباطل خفيف وبئ وربّ شهوة تورث حزنا طويلا

Kebenaran itu berat, namun lezat kesudahannya. Sementara kebatilan itu ringan, namun buruk kesudahannya.  Betapa sering syahwat itu melahirkan kesedihan yang berkepanjangan.” [18] (Shifatush Shafwah, I: 419-420)

Akhir hidup dan wafatnya Ibnu Mas’ud

Ibnu Mas’ud termasuk di antara sahabat yang masih hidup ketika terjadi penaklukan kota Syam (Suriah). Setelah itu, Umar mengirim beliau ke Kufah untuk mengajari penduduknya perkara agama sekaligus mengangkat  Ammar bin Yasir sebagai Gubernur kota Kufah. Tentang mereka, Umar berkata, “Mereka berdua termasuk sahabat Muhammad yang mulia, maka teladanilah mereka.”

Di zaman kekhalifan ‘Utsman, Ibnu Mas’ud diperintahkan untuk kembali ke Madinah, dan Ibnu Mas’ud tidak menolaknya. Ia berkata, “’Utsman memiliki hak untuk ditaati (sebagai pemimpin). Dan aku tidak suka diriku menjadi yang pertama membuka pintu fitnah.”

Di masa ‘Utsman inilah, Ibnu Mas’ud mengalami sakit keras. Pernah dalam sakitnya ia dikunjungi oleh ‘Utsman dan ditanya,

مما تشتكي؟ قال: ذنوبي، قال: فما تشتهي؟ قال: رحمة ربي، قال: ألا آمر لك بطبيب؟ قال: الطبيب أمرضني، قال: ألا آمر لك بعطاء، قال: لا حاجة لي فيه”

Apa yang engkau keluhkan?” Ibnu Mas’ud menjawab, “Dosa-dosaku.” ‘Utsman kembali bertanya, “Apa yang engkau inginkan?” Ibnu Mas’ud menjawab, “Rahmat Tuhanku.” ‘Utsman bertanya lagi, “Apakah engkau mau aku panggilkan tabib?” Ibnu Mas’ud menimpali, “Tabib akan menyebabkanku sakit.” ‘Utsman bertanya kembali, “Apakah engkau mau aku bawakan pemberian?” Ibnu Mas’ud menjawab “Aku tidak butuh.” [19] (Siyar A’lam Nubala, hal. 305)

Ibnu Mas’ud wafat di Madinah pada tahun 32 H dan dikuburkan di pemakaman Baqi bersama para sahabat yang mulia.  [20] (Siyar A’lam Nubala, hal. 306)

Demikian kisah salah satu ulama salaf dan pionir Islam. Salah satu di antara manusia-manusia istimewa yang Allah indahkan perjalanan hidup mereka. Semoga Allah memberikan kita hidayah dan taufik-Nya sehingga kita bisa meneladani kebaikan-kebaikan mereka radhiyallahu anhum ajma’in.

Baca Juga: Biografi Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu

***

Penulis: Sudarmono Ahmad Tahir, S.Si., M.Biotech.


Artikel asli: https://muslim.or.id/83998-abdullah-bin-masud.html